Payung Hukum dan Peraturan Pemerintah dalam menyikapi Covid-19
Pratama SEO -- LBH Jakarta mendesak Pemerintah Indonesia untuk tidak melakukan manuver/akrobat hukum serampangan dalam hal penerbitan aturan pelaksana daripada paket kebijakan kekarantinaan kesehatan untuk menanggulangi wabah Covid-19. Hal ini menjadi penting, karena penanggulangan wabah Covid-19 selain membutuhkan itikad politik yang baik dari Pemerintah, juga membutuhkan perangkat hukum dan aturan pelaksana yang memadai yang bisa menjamin tata kelola pemerintahan yang transparan dan juga pemenuhan hak atas kesehatan warga di situasi krisis seperti saat ini.
Sebagaimana diketahui bersama, pada 31 Maret 2019 lalu Pemerintah mengeluarkan 3 (tiga) produk hukum yang berkenaan sebagai respon terhadap upaya penanggulangan wabah Covid-19: (1) Keputusan Presiden RI No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Darurat Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19); (2) Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), dan; (3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 )COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Penerbitan Keputusan penetapan status kedaruratan kesehatan masyarakat oleh Presiden RI sendiri dinilai lamban dikeluarkan, karena akibat dari kelambanan tersebut, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah mengalami kegagapan dalam mengambil langkah-langkah penanggulangan wabah pandemi COVID-19.
Terbitnya Peraturan Pemerintah Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagai bagian dari pelaksanaan Undang-undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan juga menimbulkan tanda tanya di masyarakat. Hal ini dikarenakan dalam Undang-undang Kekarantinaan Kesehatan sendiri telah menyebutkan jelas ada 4 (empat) jenis tindakan kekarantinaan kesehatan yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan kedaruratan kesehatan masyarakat, yang mencakup: 1) Karantina Rumah; 2) Karantina Rumah Sakit; 3) Karantina Wilayah, dan; 4) Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Bila mengacu pada kondisi penyebaran virus COVID-19 yang terjadi di beberapa daerah, dan berjalannya mobilitas perpindahan warga, maka semestinya hal yang bisa dilakukan adalah menekan laju persebaran virus COVID-19 dengan cara membatasi laju mobilitas warga untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain, baik itu warga yang tidak terjangkit maupun warga yang terjangkit atau setidaknya pernah berhubungan langsung di orang yang terjangkit virus COVID-19.
Artinya kebijakan yang bisa diambil secepatnya oleh Pemerintah adalah penerbitan peraturan pemerintah yang mengatur Karantina Rumah, Karantina Rumah Sakit, maupun Karantina Wilayah, untuk kemudian menetapkan status karantina sesuai dengan kondisi masing-masing di lapangan.
Pembatasan Sosial Berskala Besar memang dia juga bisa digunakan untuk meminimalisir adanya kerumunan dan interaksi sosial yang memungkinkan terjadinya penyebaran virus COVID-19, namun ia tidak serta merta dapat mencegah laju mobilitas warga di suatu tempat ke tempat lainnya. Artinya, masih dimungkinkan terjadinya penyebaran virus COVID-19 dari satu wilayah ke wilayah lain.
Manuver hukum seperti ini besar dugaannya dilakukan untuk menghindari pelaksanaan kewajiban pemerintah terhadap warganya, dimana jika tindakan yang diambil adalah penetapan status Karantina Wilayah, Pemerintah Pusat diwajibkan untuk memenuhi dan menanggung kebutuhan dasar warganya sebagaimana tercantum dalam Pasal 55 Undang-undang Kekarantinaan Kesehatan. Selain itu muncul dugaan kuat di publik, bahwa lewat pembatasan sosial berskala besar jugalah Pemerintah hendak menetapkan status Darurat Sipil setelahnya.
Selain hal di atas, masalah juga terjadi ketika Pemerintah lantas menerbitkan Perppu No. 1 Tahun 2020 terkait kebijakan stabilitas sistem keuangan. Sekilas kebijakan ini nampaknya “positif” dan dipandang sebagai cara untuk “menyelamatkan keuangan negara, serta memungkinkan adanya perubahan alokasi anggaran APBN untuk biaya penanggulangan wabah COVID-19”.
Namun dari segi substansinya sendiri, Perppu No. 1 Tahun 2020 tersebut menyimpan problem fundamental dari segi konteks hukumnya, yang mana ia berpotensi memunculkan moral hazard, fraud dan korupsi, yang antara lain:
1. Pasal 27 Ayat 1 Perppu No. 1 Tahun 2020 menyebutkan bahwa biaya yang timbul dari kebijakan-kebijakan penyelamatan keuangan oleh Pemerintah terkait krisis, disebutkan ia sebagai bagian dari biaya ekonomi untuk menyelamatkan dari krisis, bukan merupakan kerugian Negara. Ketentuan pasal ini menjadi tameng bagi Pemerintah untuk tidak ingin dievaluasi maupun diperiksa oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) RI dan memungkinkan terjadinya tindakan koruptif di masa-masa kedaruratan kesehatan masyarakat seperti sekarang ini;
2. Pasal 27 ayat 2 Perppu No. 1 Tahun 2020 menyebutkan jika pejabat pengambil kebijakan tidak bisa dituntut oleh hukum pidana dan perdata jika dalam melaksanakan tugas didasari pada itikad baik dan sesuai perundang-undangan. Sama seperti dalam ayat 1 Pasal ini, ia menjadi tameng agar pejabat pengambil kebijakan kebal hukum dan tidak bisa dievaluasi dalam mengambil kebijakan;
3. Pasal 27 ayat 3 Perppu No. 1 Tahun 2020 menyebutkan jika segala tindakan termasuk keputusan yang diambil pejabat/badan pemerintahan berdasarkan Perppu ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. Klausul ini menjadi puncak dari upaya Pemerintah untuk mengangkangi demokrasi dan negara hukum, dimana pemerintah hendak mewujudkan kekuasaan absolut negara di hadapan rakyatnya, yang seolah-olah tindakan pemerintah tidak pernah salah dan tidak bisa digugat/diperkarakan ke Pengadilan
Tentu sangat disayangkan sekali jika Pemerintah justru mengambil langkah-langkah manuver politik hukum yang kontraproduktif dengan kepentingan dan upaya penyelamatan rakyat dari wabah pandemi COVID-19. Alih-alih menerapkan kebijakan yang selaras dengan amanat dan semangat Undang-undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Pemerintah justru mengambil posisi yang kontraproduktif dan seolah berupaya menghindar dari tanggung jawabnya.
Untuk itu LBH Jakarta mendesak agar:
1. Pemerintah Indonesia segera menerbitkan Peraturan Pemerintah aturan pelaksana Undang-undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, yang mencakup pada Karantina Rumah, Karantina Rumah Sakit, dan Karantina Wilayah, agar penanggulangan wabah pandemi COVID-19 berjalan secara efektif dan sistematik;
2. Pemerintah Indonesia merevisi dan memperbaiki ketentuan Perppu No. 1 Tahun 2020 yang menyimpang dari prinsip hak asasi manusia, demokrasi, dan negara hukum, terkhusus pasal-pasal yang cenderung manipulatif dan anti-negara hukum seperti yang ada pada Pasal 27 ayat 1, 2, dan 3 Perppu No. 1 Tahun 2020;
3. Pemerintah Indonesia fokus untuk menjamin perlindungan hak-hak warganya dalam situasi kedaruratan kesehatan masyarakat akibat COVID-19 ini, seperti pemenuhan kebutuhan pokok/dasar warga, perluasan akses layanan hak atas kesehatan dan medis bagi warga masyarakat, perlindungan jaminan hak-hak pekerja (baik di sektor formal maupun informal) termasuk terkait pemenuhan upah dan status hubungan kerjanya di perusahaan atau tempat kerjanya, perlindungan penuh bagi kelompok rentan seperti perempuan, anak, penyandang disabilitas, hingga lansia (lanjut usia), dan lainnya.